Rabu, 26 Januari 2011

Sengkuni

ARYA SENGKUNI yang waktu mudanya bernama Trigantalpati adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini.
Arya Sengkuni mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Arya Sengkuni menikah dengan Dewi Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama ; Arya Antisura/Arya Surakesti, Arya Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara Dwarawati.
Arya Sengkuni mempunyai sifat perwatakan ; tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki dan licik.
Arya Sengkuni bukan saja ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir dalam olah keprajuritan.
Arya Sengkuni mempunyai pusaka berwujud Cis (=Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah.
Dalam perang Bharatayuda, Arya Sengkuni diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa setelah gugurnya Prabu Salya, raja negara Mandaraka.
Arya Sengkuni mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima.
Tubuhnya dikuliti dan kulitnya diberikan kepada Dewi Kunti untuk melunasi sumpahnya.
Mayat Sakuni kemudian dihancurkan dengan gada Rujakpolo.

PATIH HARYA SAKUNI

Patih Harya Sakuni putra raja negara Palasajenar. Ia kelak akan menggantikan sebagai raja. Sewaktu mudanya bernama Harya Suman.

Pada waktu negara Madura diperintah Prabu Kuntiboja, baginda mengadakan perlombaan memilih calon suami bagi Dewi Kunti. Dengan diikuti adiknya perempuan, Dewi Gendari, hendak ikut serta di dalam perlombaan, tetapi terlambat datangnya. Di jalan ia berjumpa dengan Raden Pandu yang telah menang di dalam perlombaan itu. Harya Sakuni hendak merebut Dewi Kunti dan terjadilah perang. Sakuni kalah dan menyerahkan adiknya, Gendari, sebagai penebus kekalahannya itu.

Setibanya di Astina, Dewi Gendari dikawinkan dengan Raden Destarastra. Setelah Destarastra menjadi raja Astina, Harya Sakuni

diangkat menjadi Patih.

Harya Sakuni pandai berbicara, tetapi ia tidak jujur. Kepandaiannya selalu digunakannya untuk bertipu daya. Tetapi karena kepandaiannya itu, ia berguna juga bagi negara Astina. Adat kelakuan yang demikian menyebabkan terjadinya di dalam bahasa Jawa perumpamaan Seperti Sakuni bagi seseorang yang banyak akalnya.

Karena pandainya menggunakan bahasa dan berputar lidah, kata-kata Sakuni selalu dalam maksudnya dan bisa menjerat lawannya. Katakatanya enak untuk didengar dan mereka yang mendengarnya tertarik seperti kena guna pengasih saja.

Mengingat asal-usulnya, seorang orang yang mulia dan berhak menjadi raja negara Palasajenar, tetapi sesudah ia mengikuti saudara perempuannya yang kemudian diperistri Prabu Destarastra, raja negara Astina yang mempunyai seratus orang anak, maka ia pun memberatkan Astina.

Di negara Astina, Sakuni mempunyai sahabat karib, ialah Pandita Durna yang bersamaan tabiat dengan dia. Kedua tokoh itu memimpin Astina di dalam keadaan dan persoalan yang sulit-sulit. Di dalam pewayangan mereka umumnya dianggap tokoh-tokoh tak baik, padahal mereka bukan orang-orang sembarangan dan hanya oleh karena mereka berpihak pada Astina, dianggaplah mereka sebagai tokoh-tokoh tak baik.

Dalam perang Baratayuda, Sakuhi mati dirobek-robek mulutnya oleh Wrekodara. Sakuni bermata kedondongan, berhidung mungkal gerang, berbentuk batu asahan yang sudah aus, bergigi gusen, berjenggot. Kedua tangannya berlainan bentuk, yang satu tangan raksasa dan yang lainnya menunjuk, seperti tangan dagelan. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Kepala berketu udeng. Bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Berkain rapekan tentara, bercelana cindai.

Dalam cerita Sakuni mengidap sakit napas. Digambar tampak bahu

tangan belakang agak naik, menandakan, bahwa orangnya mempunyai sakit napas.

Matinya Sakuni melambangkan, bahwa orang pandai bicara yang tak jujur sepantasnya kalau dirobek-robek mulutnya.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Copyright http://ki-demang.com
Selengkapnya...

Sabtu, 15 Januari 2011

10 Tips Menarik Lebih Banyak Komentar di Blog Anda

Salah satu kelebihan blog adalah sifatnya yang interaktif. Melalui kolom komentar, pembaca blog bisa berkomunikasi secara langsung dengan si pemilik blog ataupun dengan pembaca blog yang lain. Jumlah komentar di sebuah blog juga bisa menjadi ukuran kesuksesan seorang blogger. Semakin banyak jumlah komentar, maka semakin populer pula blog tersebut. Sayangnya, tidak semua blog bisa mendapatkan banyak komentar. Hanya sedikit blog yang berhasil menarik pembacanya untuk meninggalkan komentar.

Adakah rahasianya?

Pertanyaan jamak yang kemudian seringkali hinggap di kepala setiap blogger adalah: "Bagaimana saya bisa mendapatkan 100 atau lebih komentar di blog saya?"

Dibawah ini adalah 10 tips untuk mendapatkan lebih banyak komentar yang saya sarikan dari pengalaman saya pribadi.

10 Tips Menarik Lebih Banyak Komentar di Blog Anda

1. Dorong Pembaca Blog Anda Untuk Berkomentar
Mintalah, dan Anda akan mendapatkan. Hukum ini juga berlaku di dunia blogging. Jika Anda ingin pembaca blog Anda memberikan komentar di blog Anda, jangan ragu-ragu untuk memintanya. Dorong pembaca blog Anda untuk berbagi komentar tentang topik tertentu yang Anda tulis di blog Anda. Jika Anda melakukannya dengan sopan, saya percaya pembaca blog Anda pasti akan tergerak untuk memberikan komentar di blog Anda.

Poin: Dalam beberapa artikel saya biasa mendorong pembaca blog ini untuk berbagi komentar dengan cara mengimbuhkan kalimat "dorongan" berkomentar sebagai berikut: "Bagaimana menurut Anda? Senang sekali jika Anda mau berbagi pendapat dengan saya disini. :)"

Contoh artikel: Make Money from Blog Itu Gampang?

2. Ajukan Pertanyaan Kepada Pembaca Blog Anda
Salah satu cara paling berhasil untuk mendapatkan komentar di blog Anda adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada pembaca blog Anda. Jangan takut apabila Anda tidak mendapatkan respon seperti yang Anda inginkan. Setidaknya, jika Anda mengajukan pertanyaan, pembaca blog Anda akan tahu bahwa Anda ingin berinteraksi lebih dekat lagi dengan pembaca blog Anda. Bertanyalah dengan sopan dan sesuaikan dengan topik blog Anda.

Poin: Dalam salah satu artikel saya sengaja mengajukan pertanyaan pendek kepada pembaca blog ini dengan pertanyaan berikut untuk menarik komentar: "Apa alasan Anda membaca Blogguebo.com?"

Contoh artikel: Birthday Present untuk Pembaca Blogguebo.com

3. Permudah Cara Berkomentar di Blog Anda
Bayangkan betapa repotnya pembaca blog Anda jika harus menuliskan capcha atau password atau malah harus log in terlebih dahulu untuk berkomentar di blog Anda. Jika Anda benar-benar ingin menumbuhkan budaya berkomentar di blog Anda, akan lebih baik apabila Anda mempermudah cara berkomentar di blog Anda. Hilangkan fitur moderasi, capcha, password atau apapun yang hanya akan membuat pembaca blog Anda malas berkomentar.

Poin: Di blog ini misalnya, setiap pembaca bisa meninggalkan komentar dengan mudah tanpa harus memasukkan kode huruf, capcha atau password apapun.

4. Balas Komentar Pembaca Blog Anda
Ketika pembaca blog Anda memberikan komentar di blog Anda, sejatinya ia ingin berinteraksi dengan Anda maupun dengan pembaca blog yang lain. Balaslah komentar-komentar di blog Anda (selagi jumlahnya belum banyak) dan suatu hari Anda akan terkejut mendapati semakin banyaknya komentar yang diberikan oleh pembaca blog Anda. Membalas komentar juga menjadi salah satu cara untuk menghargai pembaca blog Anda.

Poin: Saya selalu berusaha (selagi bisa) membalas komentar yang diberikan oleh pembaca blog ini. Dan hasilnya memang sangat positif. Blog ini menjadi (sedikit) berbeda dengan blog-blog lain karena saya berusaha selalu membalas setiap komentar di setiap artikel yang saya tulis. :)

Contoh artikel: Hampir di semua artikel.

5. Beri Insentif Untuk Komentar di Blog Anda
Memberikan insentif untuk berkomentar di blog Anda bisa menjadi salah satu cara tercepat untuk mendapatkan lebih banyak komentar di blog Anda. Insentif tidak perlu mahal. Malah bisa gratis. Anda bisa sekedar memberikan do-follow backlink, komentar balik atau sekedar e-book gratis. Yang terpenting adalah itikad baik Anda untuk memberikan sekedar balas budi kepada pembaca blog Anda yang telah berkomentar.

Poin: Di blog ini saya memberikan do-follow backlink untuk setiap komentar yang ditinggalkan di blog ini (termasuk juga komentar "Pertamaxx". Hehehe).

6. Menulislah Dengan Santun
Meskipun nampaknya tidak berkaitan, namun sejatinya gaya menulis yang santun memiliki pengaruh terhadap sikap penerimaan pembaca blog Anda. Jika Anda menulis dengan santun, pembaca blog Anda akan merasa dihargai dan sebagai imbalannya akan lebih mudah memberikan komentar di blog Anda.

Poin: Saya selalu berusaha untuk menulis dengan santun, meskipun tentu tetap dengan gaya saya pribadi. Demikian halnya ketika membalas komentar pembaca.

Contoh artikel: Hampir di semua artikel. :)

7. Tulislah Artikel Yang Memancing Rasa Ingin Tahu
Tips lain untuk mendapatkan lebih banyak komentar di blog Anda adalah dengan membuat tulisan "menggantung" alias open-ended yang memancing rasa ingin tahu pembaca. Buatlah pembaca blog Anda penasaran dan "terpaksa" bertanya di bagian kolom komentar. Namun demikian, ada baiknya jika tips ini tidak terus-menerus Anda pergunakan. Pembaca blog Anda pun suatu saat akan merasa jengah bila dipaksa untuk terus-menerus membaca artikel yang selalu "menggantung" tanpa kesimpulan.

Poin: Saya pernah mencoba menggunakan tips ini untuk memancing rasa ingin tahu pembaca blog ini tentang topik marketing revolution untuk blog (maaf, belum sempat menulis artikelnya).

Contoh artikel: Apa Itu Marketing Revolution?

8. Bangun Budaya Berkomentar Yang Positif
Anda adalah pencipta budaya berkomentar di blog Anda sendiri. Jika Anda terbiasa membalas komentar dengan negatif, kasar, acuh tak acuh dan sekedarnya, maka budaya itulah yang akan diikuti oleh pembaca blog Anda. Sebaliknya, jika Anda terbiasa membalas komentar dengan positif, respek, santun dan rendah hati, maka budaya itu pulalah yang akan menular kepada pembaca blog Anda.

Poin: Semampu saya, saya berusaha membangun budaya berkomentar yang positif di blog ini dengan selalu membalas komentar juga dengan cara yang positif, santun dan menghargai. :)

9. Buatlah Kontes Komentar Terbanyak
Tips ini bisa Anda lakukan jika cara-cara lain relatif kurang memberikan hasil. Dengan mengadakan kontes komentar terbanyak (tentu dengan hadiah yang cukup menarik), maka pembaca blog Anda pasti akan tergerak untuk sering meninggalkan komentar di blog Anda. Kerugian cara ini, Anda harus memiliki budget ekstra untuk sekedar memberikan hadiah bagi pemenang kontes yang Anda adakan.

Poin: Terus terang saya belum pernah menerapkan tips ini. Namun bukan tidak mungkin, suatu saat nanti saya akan mengadakan kontes komentar terbanyak di blog ini. Jadi, tetap stay tune disini ya. :)

10. Berkomentar di Blog Lain
Jika segala daya upaya di blog Anda sendiri tidak berhasil, Anda bisa mencoba menarik lebih banyak komentar di blog Anda dengan terlebih dahulu memberikan komentar di blog lain. Anda memberi, maka Anda akan menerima. Hukum yang sama juga berlaku di dunia blogging. Jadi, jika komentar di blog Anda masih relatif sedikit, cobalah keluar dan berikan komentar di blog-blog yang setopik dengan blog Anda.

Poin: Pada awal-awal menjalani aktivitas blogging, saya selalu menyempatkan diri berkomentar di setidaknya 10 blog yang berbeda setiap harinya.

----------------------------------

Ke-10 tips diatas hanyalah sekedar pengalaman pribadi saya mengenai bagaimana cara mendapatkan lebih banyak komentar di blog Anda.

Meskipun demikian, komentar hanyalah komentar. Tidak ada untungnya merasa patah semangat hanya karena masih sedikitnya jumlah komentar di blog Anda. Bahkan blog-blog paling populer pun sebenarnya hanya menarik paling banyak 1 persen dari seluruh pembacanya untuk berkomentar.

Jika Anda sabar serta persisten menerapkan tips-tips diatas, yakinlah bahwa Anda sebenarnya sedang menumbuhkan sebuah blog yang tidak hanya akan menarik lebih banyak komentar, namun juga akan menumbuhkan sebuah ikatan komunitas antara Anda dan pembaca blog Anda.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda memiliki tips-tips brillian yang lain untuk mendapatkan lebih banyak komentar di blog Anda? Senang sekali jika Anda mau membagikannya dengan saya di disini.

Semoga bermanfaat.

(Gambar diambil dari PJLightHouse.com)

Medhy Aginta Hidayat
Copyright http://www.blogguebo.com
Selengkapnya...

Jumat, 14 Januari 2011

Dicoba-dicoba

Bisnis tanpa modal. 1000% gratis
Selengkapnya...

Biografi Gus Dur (Abdurrahman Wahid)

Nama : Abdurrahman Wahid (Gus Dur )
lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur tanggal 7 September 1940, lahir dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal, dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.

Lebih lanjut tentang: Biografi GUS DUR
Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas.
Lahir dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur.
Kakek dari ayahnya adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, yaitu KH Wahid Hasyim, terlibat dalam gerakan nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada tahun 1949. Ibunya, Ny Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua I Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Pada akhir tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta, dan ayahnya ditunjuk menjadi Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya.
Pada tahun 1957, lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo
Didikan Luar Negeri
Pada tahun 1963, menerima beasiswa dari Kementerian Agama RI untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.
Pada tahun 1966, Pendidikan prasarjana beasiswa di Universitas Baghdad
Tahun 1970, belajar di Universitas Leiden, Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir Awal
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),dan mendirikan majalah prisma, kemudian meneruskan karirnya sebagai jurnalis, dan menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas.lalu ia mulai mengembangkan reputasinya sebagai komentator sosial.
Pada tahun 1974 bekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas, Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai Dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam.
Nahdlatul Ulama
Wahid bergabung Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama,setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga.
Pada pemilihan umum legislatif 1982,adalah pengalaman politik pertamanya berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pemilu 1999 dan SU MPR

Pada Juni 1999, PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangi 12 persen suara, sedangkan PDI-P menang dengan raihan 33 persen suara.
Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada SU MPR. Namun PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB.
Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, berisi koalisi partai-partai Islam. Poros Tengah kemudian mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden, dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie, dan Habibie harus mundur dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR menyatakan bahwa Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya meraih 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk, dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden.
Setelah meyakinkan Jenderal Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta.
Pada 21 Oktober 1999 Megawati ikut dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Lebih lanjut tentang: Biografi GUS DUR
Dari Abdurrahman Addakhil Menjadi Gus Dur
Abdurrahman “Addakhil”, itulah nama lengkapnya. Secara leksikal, Addakhil berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil KH Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.

Belakangan kata Addakhil tak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai yang berarti “mas”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah keturunan ‘darah biru’. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Hj Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH Bisri Syansuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah KH Abdul Wahab Hasbullah.

Pada 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Tamu-tamu, terdiri para tokoh yang sebelumnya biasa dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur. Ia mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari para kolega ayahnya.

Sejak kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU.
Pada April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi-Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur punya kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku serius. Karya-karya yang dibaca tidak hanya cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara.
Ia juga senang bermain bola, catur, dan musik. Kegemaran lain adalah nonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Jogjakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat ini pengembangan ilmu pengetahuannya mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studi di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak H Muh Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

Musik Klasik
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakek, ia diajari mengaji dan membaca Al Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al Qur’an.
Pada saat ayahnya pindah Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan dengan musik klasik. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang lulus SD, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-Jakarta. Karenanya wajar jika pada masa kemudian banyak tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus SD, Gus Dur dikirim orang tuanya belajar di Jogjakarta. Pada 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Sekolah ini meski dikelola Gereja Katolik Roma, tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Gus Dur lalu minta pindah ke kota dan tinggal di rumah H Junaidi, pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah salat subuh, mengaji pada KH Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan malamnya ikut berdiskusi bersama H Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Ketika menjadi siswa SMEP, Gus Dur didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku berbahasa Inggris. Di antara buku-buku yang dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Ia juga membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Gus Dur juga aktif mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai berbahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis- memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.
Setamat SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang. Pesantren ini diasuh KH Chudhari, kiai yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mengadakan ziarah ke makam-makam para wali di Jawa.
Menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur lalu kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, KH Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, kemudian ke Mesir melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.
Pada 1966 Gus Dur pindah ke Irak. Ia masuk Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai 1970.
Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan studi ke Eropa. Tetapi karena persyaratan ketat, utamanya dalam bahasa, –misalnya untuk masuk kajian klasik di Kohln harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin di samping bahasa Jerman–, tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang, memilih menjadi guru. Pada 1971 ia bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun sama Gus Dur mulai menekuni sebagaii kolumnis.
Pada 1974 Gus Dur diminta pamannya, KH Yusuf Hasyim membantu di Pesantren Tebu Ireng dengan menjadi sekretaris. Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori LP3ES.

Pada 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin ilmu.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’ -dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.
Pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 NU di Situbondo. Jabatan itu kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI. Meskipun sudah menjadi presiden, kenylenehan Gus Dur tak hilang.
Catatan karier Gus Dur yang patut juga dicatat adalah saat menjadi ketua Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota terdiri berbagai kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim.
Dari perjalanannya tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. wikipedia/berbagai sumber

Jejak Penghargaan Gus Dur:
Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.

Copyright http://www.surya.co.id/2009/12/31/dari-abdurrahman-addakhil-menjadi-gus-dur.html
Selengkapnya...

Selasa, 11 Januari 2011

Sadewa(pandawa)

SADEWA atau Sahadewa yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (=buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula.
Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.
Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib.
Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus.
Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing.
Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa.
Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta.
Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala).
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa).
Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira.
Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya.

RADEN NAKULA DAN SADEWA

Kedua ksatria ini kembar, putra Pandu dari permaisuni Dewi Madrim, saudara Prabu Salya, raja negara Madraka. Waktu kanak-kanak, Nakula dan Sadewa bernama Pintèn dan Tangsèn.

Kesetiaan saudara kembar pada ketiga saudara mereka yang lebih tua tak pernah goyah. Kelima-limanya berpendirian sama dan merupakan suatu benteng yang kuat.

Sewaktu perang Baratayuda hampir pecah, Pendawa merasa was-was menghadapi prabu yang sakti dan sabar itu. Atas kebijaksanaaa Sri Kresna, Nakula dan Sadewa diutus menghadap Prabu Salya untuk meredakan amarahnya. Oleh karenanya, Prabu Salya tak sampai hati bermusuhan dengan Pendawa mengingat, bahwa kelima bersaudara itu adalah kemenakannya sendiri. Maka ketika perang Baratayuda pecah, Prabu Salya pun tak berperang sepenuh semangat, hingga menyebabkan menangnya Pendawa di dalam perang itu.

Nakula bermata jaitan, berhidung mancung, bersanggul kadal menek bersunting kembang Kluwih panjang. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain bokongan putran.

Nakula dan Sadewa berwanda: Banjet dan Bontit.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Selengkapnya...

Nakula(pandawa)

NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka.
Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna

Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib.
Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.
Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani.
Nakula juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air kehidupan" pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.
Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.

RADEN NAKULA DAN SADEWA

Kedua ksatria ini kembar, putra Pandu dari permaisuni Dewi Madrim, saudara Prabu Salya, raja negara Madraka. Waktu kanak-kanak, Nakula dan Sadewa bernama Pintèn dan Tangsèn.

Kesetiaan saudara kembar pada ketiga saudara mereka yang lebih tua tak pernah goyah. Kelima-limanya berpendirian sama dan merupakan suatu benteng yang kuat.

Sewaktu perang Baratayuda hampir pecah, Pendawa merasa was-was menghadapi prabu yang sakti dan sabar itu. Atas kebijaksanaaa Sri Kresna, Nakula dan Sadewa diutus menghadap Prabu Salya untuk meredakan amarahnya. Oleh karenanya, Prabu Salya tak sampai hati bermusuhan dengan Pendawa mengingat, bahwa kelima bersaudara itu adalah kemenakannya sendiri. Maka ketika perang Baratayuda pecah, Prabu Salya pun tak berperang sepenuh semangat, hingga menyebabkan menangnya Pendawa di dalam perang itu.

Nakula bermata jaitan, berhidung mancung, bersanggul kadal menek bersunting kembang Kluwih panjang. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain bokongan putran.

Nakula dan Sadewa berwanda: Banjet dan Bontit.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Selengkapnya...

Arjuna (pandawa)

ARJUNA adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura.
Arjuna merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa.
Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.
Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu.
Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.
Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning.
Arjuna dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka.
Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ).
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak.
Adapun istri dan anak-anaknya adalah :

1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.

2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras.

3. Dewi Srikandi

4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan

5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti

6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka

7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni

8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga

9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati

10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma

11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa

12. Dewi Maeswara

13. Dewi Retno Kasimpar

14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada

15. Dewi Dyah Sarimaya.
Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ).
Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.
Arjuna memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain.

RADEN ARJUNA

Arjuna banyak nama lainnya. Arjuna sendiri berarti air jernih tak membekas. Di antara nama-namanya yang lain terdapat: 1. Kumbawali, yang berarti sebagai tempat rasa, 2. Parta, yang berarti berbudi sentausa, 3. Margana, yang berarti bisa terbang, 4. Panduputra, putra Pandu, 5. Kuntadi, yang berarti panah sakti, 6. Endratanaya, yang berarti anak angkat Betara Endra, 7. Prabu Kariti, yang berarti mendapat anugerah Dewa untuk menjadi raja di Tejamaya (tempat Dewa), karena jaya dalam perang atas titah Dewa, 8. Palguna karena dilahirkan di musim Palguna, yakni musim VIII dan karena bisa menaksir kekuatan perang musuh, dan 9. Dananjaya yang berarti menjauhkan diri dari soal-soal harta benda. Sesudah termasuk golongan tua, Arjuna tak mau lagi menggunakan pakaian keemasannya. Akhirnya Arjuna disebut juga titisan Hyang Wisnu.

Arjuna bermata jaitan, berhidung mancung, bersanggul kadal menek, bersunting waderan, tak berpakaian serba keemasan dan permata. Berkain bokongan ksatria.

Arjuna berwanda: 1. Jimat, karangan Panembahan Senapati dan juga Sinuhun Sultan Agung di Mataram, 2. Mangu, karangan Sinuhun Sultan Agung di Mataram, 3. Kanyut, 4. Kinanti, dan 5. Malat.

Wanda Jimat untuk wayang Arjuna adalah asli dari wayang Kraton Surakarta, sebab wanda Jimat itu digunakan bagi wayang sekotak yang disebut juga Kyai Jimat. Tidak boleh dimainkan oleh sembarang dalang wayang itu dan hanya dimainkan oleh raja atau pangeran.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Selengkapnya...

BIMA atau WERKUDARA (pandawa)

Dikenal pula dengan nama;
Balawa,
Bratasena,
Birawa,
Dandunwacana,
Nagata,
Kusumayuda,
Kowara,
Kusumadilaga,
Pandusiwi,
Bayusuta,
Sena, atau Wijasena.
Bima putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura.
Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa.
Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur.
Bima memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta.
Bima mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu :

1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja,

2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan

3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.
Selengkapnya...

Yudhistira (pandawa)

PRABU YUDHISTIRA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker.
Prabu Yudhistira mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ; Arya Danduwacana, yang menguasai kesatrian Jodipati dan Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian Madukara.
Prabu Yudhistira juga mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ; Ditya Sapujagad bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.
Prabu Yudhistira menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala, raja jin negara Madukara dengan permaisuri Dewi Sumirat.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi istri Arjuna.
Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian Bagawan Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani.
Prabu Yudhistira kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa, sulung Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti.
Prabu Yudhistira kemudian menjelma/ menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu Yudhistira.

PRABU YUDISTIRA

Prabu Yudistira raja negara Amarta dan putra tertua Prabu Pandudewanata. Pada masa mudanya bernama Puntadewa.

Yudistira orang yang sabar sekali, hingga dikatakan orang ia berdarah putih, karena tak pernah marah. Karena sifatnya itu, Yudistira terjauh dan bahaya.

Yudistira mempunyai pusaka bernama surat Kalimahusada yang berkesaktian menjauhkan seteru, menyelamatkan diri dan lain-lain. Sebaliknya surat itu bisa berbahaya bagi siapa yang bermaksud jahat terhadap Kalimahusada. Tetapi di dalam lakon surat itu pernah dikuasai orang dan menjadi jayalah dia.

Yudistira tak pernah berperang di dalam Baratayuda. Ia diangkat sebagai pahlawan, tetapi ia menjengkelkan saudara-saudaranya, oleh karena segan melawan musuhnya. Maka terpaksa ia dibantu oleh Arjuna yang dengan anak panahnya mendorong anak panah yang dilepaskan oleh Yudistira, hingga musuh itu dapat dikalahkannya.

Yudistira dan saudara-saudara Pendawa lainnya menemui ajal dengan sempurna sehabis perang Baratayuda.

Prabu Yudistira bermata jaitan, berhidung mancung, bermuka tenang, lebih tenang daripada masa mudanya, sewaktu masih bernama Puntadewa. Bergelung keling, bersunting waderan. Sesudah bertakhta sebagai raja, segala pakaian serba keemasan dan segala permatanya dibuangnya. Maka ia adalah seorang raja yang sangat bersahaja. Prabu Yudistira berwanda: 1. Putut, 2. Manuksma, 3. Jimat dan 4. Deres.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Selengkapnya...

Senin, 10 Januari 2011

Kisah Nyata

Ian Internazionale Muslimovic Adalah seorang pemuda Arab yang baru
saja menyelesaikan bangku kuliahnyadi
Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat olehAllah
berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya.Selain
belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada diAmerika, ia
berkenalan dengan salah seorang Nasrani..........

Hubungan merekasemakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT
memberinya hidayah masukIslam.Pada suatu hari mereka berdua
berjalan-jalan di sebuahperkampungan di Amerika dan melintas di dekat
sebuah gereja yangterdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta
agar ia turut masukke dalam gereja. Semula ia berkeberatan, namun
karena ia terus mendesakakhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya
lalu ikut masuk ke dalamgereja dan duduk di salah satu bangku dengan
hening, sebagaimanakebiasaan mereka.Ketika pendeta masuk, mereka
serentak berdiriuntuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk. Di
saat itu sipendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin
dan berkata,"Di tengah kita ada seorang muslim. Aku berharap ia keluar
dari sini."Pemuda Arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta
tersebutmengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak
bergemingdari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, "Aku
minta iakeluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya." Barulah
pemuda iniberanjak keluar. Dia ambang pintu ia bertanya kepada Sang
Pendeta,"Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim?" Pendeta itu
menjawab,"Dari tanda yang terdapat di wajahmu." Kemudian ia beranjak
hendakkeluar. Namun Sang Pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda
ini,yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk
memojokkanpemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda
muslimitupun menerima tantangan debat tersebut. Sang Pendeta berkata,
"Akuakan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus
menjawabnyadengan tepat." Si pemuda tersenyum dan berkata,
"Silakan!"Sang Pendeta pun mulai bertanya,1. Sebutkan satu yang tiada
duanya,2 Dua yang tiada tiganya,3 Tiga yang tiada empatnya,4 Empat yang
tiada yang limanya, 5 Lima yang tiada enamnya,6 Enam yang tiada
tujuhnya,7 Tujuh yang tiada delapannya,8 Delapan yang tiada
sembilannya,9 Sembilan yang tiada sepuluhnya,10. Sesuatu yang tidak
lebih dari sepuluh,11 Sebelas yang tiada dua belasnya,12 Dua belas yang
tiada tiga belasnya,13 Tiga belas yang tiada empat belasnya,14 Sebutkan
sesuatu yang dapat bernafas nemun tidak mempunyai ruh!15 Apa yang
dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya?16 Siapakah yang
berdusta namun masuk ke surga?17 Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah
namun Dia tidak menyukainya?18 Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah
dengan tanpa ayah dan ibu!19 Siapakah yang tercipta dari api, siapakah
yang diadzab dengan api dan siapakan yang terpelihara dari api?20
Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diadzab dengan batu dan
siapakah yang terpelihara dari batu?21 Sebutkan sesuatu yang diciptakan
Allah dan dianggap besar!22Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting,
setiap ranting mempunyai 30daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di
bawah naungan dan 2 di bawahsinaran matahari?Mendengar pertanyaan
tersebut pemuda itutersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan
kepada Allah. Setelahmembaca basmalah ia berkata,1. Satu yang tiada
duanya ialah Allah SWT.2Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang,
Allah SWT berfirman, "DanKami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda
(kebesaran kami)."(Al-Isra': 12).3 Tiga yang tiada empatnya adalah
kekhilafan yangdilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan,
membunuhseorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang
hampirroboh.4 Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan
Al-Qur'an.5 Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.6 Enam yang
tiada tujuhnya ialah jumlah hari ketika Allah SWT menciptakan
makhluk.7Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis.
Allah SWTberfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Kamusekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang
Maha Pemurah sesuatuyang tidak seimbang." (Al-Mulk: 3).8 Delapan yang
tiada sembilannyaialah malaikat pemikul Arsy Ar-Rahman. Allah SWT
berfirman, "Danmalaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan
pada hari itudelapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas
kepala mereka."(Al-Haqah: 17).9 Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah
mukjizatyang diberikan kepada nabi Musa : tongkat, tangan yang
bercahaya, angintopan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan
belalang10 Sesuatuyang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan. Allah
SWT berfirman,"Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh
kali lipat."(Al-An'am: 160).11 Sebelas yang tiada dua belasnya ialah
jumlah saudara-saudara Yusuf.12Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah
mukjizat Nabi Musa yangterdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah)
ketika Musa memohon airuntuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah
batu itu dengantongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata
air."(Al-Baqarah: 60).13 Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah
jumlah saudara Yusuf ditambah ayah dan ibunya.14Adapun sesuatu yang
bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktuSubuh. Allah SWT
berfirman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulaimenyingsing."
(At-Takwir: 18). 15Kuburan yang membawa isinya adalahikan yang menelan
Nabi Yunus AS.16 Mereka yang berdusta namun masukke dalam surga adalah
saudara-saudara Yusuf, yakni ketika merekaberkata kepada ayahnya,
"Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergiberlomba-lomba dan kami
tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami,lalu dia dimakan
serigala." Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkatakepada mereka,
"Tak ada cercaan terhadap kalian" Dan ayah mereka Ya'qubberkata, "Aku
akan memohonkan ampun kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lahyang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."17 Sesuatu yang diciptakanAllah namun
tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman,"Sesungguhnya
sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (Luqman: 19).18 Makhluk yang
diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta
Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.19Makhluk yang dciptakan dari api
adalah Iblis, yang diadzab dengan apiialah Abu Jahal dan yang
terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim.Allah SWT berfirman, "Wahai
api dinginlah dan selamatkan Ibrahim."(Al-Anbiya: ).20 Makhluk yang
terbuat dari batu adalah unta nabiShalih, yang diadzab dengan batu
adalah tentara bergajah dan yangterpelihara dari batu adalah Ash-Habul
Kahfi (penghuni gua).21Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap
perkara besar adalah tipudaya wanita, sebagaimana firman Allah SWT,
"Sesungguhnya tipu daya kaumwanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).
22 Adapun pohon yangmemiliki 12 ranting, mempunyai 30 daun, setiap daun
mempunyai 5 buah, 3di bawah teduhan dan 2 di bawah sinaran matahari
maknanya: Pohon adalahtahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan
buahnya adalah shalatlima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua
di siang hari.Pendetadan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban
pemuda muslimtersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi.
namun iamengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab
satupertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh Sang Pendeta.Pemuda
ini berkata, "Apakah kunci surga itu?" Mendengar pertanyaan itulidah
Sang Pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan ronawajahnya
pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya namunhasilnya
nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknyaagar
menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.Merekaberkata,
"Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanyaia jawab,
sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidakmampu
menjawabnya!" Pendeta tersebut berkata, "Sungguh aku mengetahui jawaban
dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian
marah.""Merekamenjawab, "Kami akan menjamin keselamatan anda." Sang
Pendeta punberkata, "jawabannya ialah Asyhadu alla Illaaha Illallaah wa
Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah."Lantas Sang Pendeta dan
orang-orangyang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah
telahmenganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui
tanganseorang pemuda muslim yang bertakwa. Kisah nyata ini diambildari
mausu'ah Al-Qishash Al-Waqi'ah melalui internet, www.gesah.netKaum yang
berpikir (termasuk para pendeta) sedianya telah mengetahuibahwa Islam
adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW danakan menjaga
manusia dalam kesejahteraan baik di dunia dan di akhirat.Apa yang
menyebabkan hati-hati para pendeta itu masih tertutup bahkancenderung
mereka sendiri yang menutup rapat jiwanya. Semoga Allah SWTmemberikan
hidayah kepada mereka yang mau berpikir. Amiin...
See More
www.gesah.netKaum
Share
Selengkapnya...

Buku buku karya Soe Hok Gie

Di Bawah Lentera Merah - Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920

Penulis : Soe Hok Gie

Kategori : Buku Bagus

Di Bawah Lentera Merah menarasikan satu periode krusial dalam sejarah Indonesia yaitu ketika benih-benih gagasan kebangsaan mulai disemaikan, antara lain lewat upaya berorganisasi. Melalui sumber data berupa kliping-kliping koran antara tahun 1917-1920-an dan
wawancara autentik yang berhasil dilakukan terhadap tokoh-tokoh sejarah yang masih tersisa, penulisnya mencoba melacak bagaimana bentuk pergerakan Indonesia, apa gagasan substansialnya, serta upaya macam apa yang dilakukan oleh para tokoh Sarekat Islam Semarang pada kurun waktu 1917-an.
  Di bawah pimpinan Semaoen, para pendukung Sarekat Islam berasal dari kalangan kaum buruh dan rakyat kecil. Pergantian pengurus itu adalah wujud pertama dari perubahan gerakan Sarekat Islam Semarang dari gerakan kaum menangah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Saat itu menjadi sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia karena menjadi tonggak kelahiran gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.

Pertimbangan lain mengapa Di Bawah Lentera Merah menjadi penting adalah karena buku ini memotret bagaimana gagasan transformasi modernisasi berproses dari wacana tradisional ke wacana modern. Lebih khusus lagi Soe Hok Gie, melalui buku ini, mengajak kita mencermati bagaimana para tokoh tradisionalis lokal tahun 1917-an mencoba menyikapi perubahan pada abad ke-20 yang dalam satu dan lain hal, punya andil menjadikan wajah bangsa Indoensia seperti sekarang ini.
 

Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie

Ada sebuah catatan kecil dari pemikiran Soe Hok Gie tentang konsep kebudayaan yang ada di buku ini ketika ia sedang berdiskusi dengan Ong Hok Ham yang dicatatnya pada tanggal 31 Desember 1962. Di sana dia menulis: “Lihat di Irian Barat, telanjang, bercawat, tidak ada kebudayaan.” (hal.109)

Usia buku Catatan Seorang Demonstran memang sudah lebih dari 20 tahun. Sejak Mei 1983 sampai Agustus 1993, buku itu rutin diterbitkan sampai cetakan keenam.

Setelah hampir 12 tahun lebih, buku itu dicetak lagi bersamaan dengan peluncuran film Gie produksi Miles Film. Sejak awal, menurut Maruto, cetak ulang itu memang dirancang untuk saling mendukung guna memopulerkan lagi kehidupan Soe Hok Gie. Masuknya sponsor resmi A Mild dalam sampul buku dan pada setiap bentuk promosi film makin memperjelas ikatan promosi itu.

Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani

Penulis: John Maxwell

Ia bukan partisan, dalma arti mengabdikan kegiatan intelektualnya bagi suatu kepentingan politik sempit. Tetapi ia juga bukan jenis intelektual yang mengelakkkan keterlibatan dalam kancah politik.Seperti diakuinya, politik ibarat lumpur kotor, namun dalam keadaan mendesak, ia siap mencemplungkan diri ke dalamnya. Terjun dalam pergolakan politik tanah air pada tahun-tahun "60-an, Soe Hok-gie ikut mengambil bagian dalam gerakan perlawanan terhadap keotoriteran Sukarno. Ia menulis dalam surat kabar maupun selebaran gelap, dan pada tahun "66 aktif menggerakkan demonstrasi mahasiswa di jalan-jalan.

Sebagai seorang cendekiawan, "kejujurannya tidak mengenal batas," tulis Soedjatmoko dalam "Peranan Intelektuil di Negara Sedang Berkembang"(Budaja Djaja, Juli 1970).Kelahiran Orde Baru yang secara tidak langsung ikut dibidaninya tidak membuatnya menutup mata terhadap gejala keotoriteran baru yang muncul tidak lama kemudian. Itulah potret Soe Hok-gie, seorang intelektual muda yang konsisten melawan tirani sampai akhir hayatnya, dilukiskan dengan rinci oleh John Maxwell dalam buku ini, yang merupakan terjemahan disertasi doktoralnya Soe Hok-gie : A Biography of a Young Indonesian Intellectual.

John Maxwell lahir pada tahun 1946 di Melbourne, Australia. Meraih gelar MA dari Monash University, Department of Politics di Melbourne (1982), ia kemudian mengambil PhD. dari Auastralian National University, Department of Political and Social Change di Canberra (1997). Pernah mengajar pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung, 1972-1974, sejak 1998 sampai sekarang ia bekerja di Jakarta pada SMERU Research Institute, sebuah lembaga penelitian tentang pelaksanaan kebijakan sosial-ekonomi pemerintah.

Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan

Soe Hok Gie

"Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik meninggal daripada menyerah, walaupun bagaimana saya tetap merah putih." Karena prajurit ini memang tidak bermaksud menembak mati Musso, ia lari ke desa di dekatnya. Sementara itu pasukan-pasukan bantuan di bawah Kapt. Sumadi telah datang. Musso bersembunyi di sebuah kamar mandi dan tetap menolak menyerah. Akhirnya ia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.

Karya temtang pemberontakan PKI di Madiun ini dianyam demikian rupa seakan-akan kita membaca sebuah novel sejarah dramatis yang menegangkan. Tapi penulisnya cukup hati-hati untuk tetap bersikap objektif dalam analisisnya hingga fakta sebagai "suatu yang suci" dalam bangunan sejarah tetap ditempatkan dalam posisi yang terhormat.

Cuma segitu? Hmm ... sebenarnya masih ada tulisan atau buku lainnya. Blog ini ini tidak ingin terjebak menjadi sebuah katalog toko buku. Nah, sebagai pelipur lara, ... masih ada sedikit tulisan tentang sosok GIE ini ... Silahkan disimak! [disalin dari majalah Intisari edisi Desember 1999]

KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN - SOE HOK GIE

Enam belas Desember 30-an tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.


"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.


Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu," lanjutnya.

Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru ... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu," begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang Seorang Demonstran", (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.

Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.

Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.

Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.

Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada "kawan-kawan" batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.

Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.

Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.

Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mie hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."

Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?" Tanyanya.

Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.

Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.

Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.

Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.

Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!

Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.

Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.

Monyet Tua Yang Dikurung

Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."

Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar:

"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ... Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".

Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.

Mimpi Seorang Mahasiswa Tua

John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.

Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, ... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan ... Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.

Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: ... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.

Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.

Berpolitik Cuma Sementara

John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."

Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.

Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.

Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.

Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan" dan cukilan pentingnya berbunyi:


Hari ini aku lihat kembali Wajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi

Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini?

LAHIRNYA SANG DEMONSTRAN
Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, kelahiran Jakarta tanggal 17 Desember 1942, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satunya ya Soe Hok Djien, kakaknya, yang kita kenal sebagai Arief Budiman.

Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.

Dalam catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil. "Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak."

Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, "paduka" kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.

Bacaan dan pelajaran yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.

Soe melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius. Tahun 1962 - 1969 ia menamatkan kuliah di Fakultas Sasra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Soe resah. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran.

Hari-harinya diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya ... Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas. Begitu tulisnya.

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling depan. Konon, Soe juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.

Soe sendiri dalam buku CSD, menulis soal demonstrasi: Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran ... Jakarta, 25 Januari 1966.

Soe dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Jalan (Bentang, 1997).

Kabarnya, sajak karya Soe yang puluhan judul itu, kini juga sedang dalam penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Masuk akal sekali. Sebab Soe itu bergaul akrab dengan penyair angkatannya Taufik Ismail, WS Rendra, Satyagraha Hoerip.



Copyright  http://untuktanahairku.blogspot.com
Selengkapnya...

Ummu Dzar Al-Ghifariyah: Teladan Istri Setia Pendamping Suami

Shahabiyah yang akan kita telusuri kisahnya kali ini adalah Ummu Dzar, istri shahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Kesetiaannya mendampingi suami, layak diteladani. Betapa tidak, karena beliau ikhlas merawat dan menemani sang suami hingga ajal menjemput . Dalam kesendirian di padang pasir liar nan luas membentang.
Rabadzah, tempat tinggal Abu Dzar Al-Ghifari

Karena adanya perbedaan pendapat, dengan Utsman bin Affan, maka Abu Dzar Al-Ghifari dan keluarganya memilih Rabadzah, padang pasir liar sebagai tempat tinggal mereka. Sebuah keputusan yang sangat berani. Karena daerah tersebut sangat jarang dilalui kafilah. Dan mereka pun hidup tanpa ada tetangga di kanan dan kirinya.

Sang istri yang shalihah, tanpa keluh kesah , dengan setia, mendampingi Abu Dzar Al-Ghifari dan anaknya. Hidup dalam kesederhanaan yang amat sangat. Ditambah lagi, di kemudian hari Abu Dzar Al-Ghifari menderita sakit yang cukup parah.

Menjelang ajal menjemput
Ajal pun semakin dekat, Ummu Dzar selalu berada di sisi sang suami untuk mengurus segala keperluannya. Melihat kondisi, yang semakin parah … Ummu Dzar akhirnya menangis di samping sang suami.

Abu Dzar bertanya, “ Apa yang kamu tangiskan, padahal maut itu pasti datang ?”

“ Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain untuk kafanmu!” jawab Ummu Dzar pilu.

Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah, seperti layaknya orang yang akan merantau jauh. Lalu berkata kepada istrinya itu,” Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya saw, saya dengar Beliau saw bersabda,” Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!”

Semua yang ada di majelis Rasulullah saw telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang hidup di antara mereka kecuali aku.
Nah, inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalanan, kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang !

Demi Allah, saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!”Tak berapa lama, Abu Dzar pun kembali ke hadirat Allah SWT. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un.

Kenyataan yang ada
Subhanallah! Apa yang diucapkan Abu Dzar sungguh menjadi kenyataan. Karena tentu saja dia tidak berbohong, dan pasti tidak dibohongi. Karena Rasulullah SAW adalah ma’shum.

Tidak lama berselang, sesudah Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, tampak serombongan kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu. Subhanallah! Kafilah itu adalah Kafilah kaum mukminin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ibnu Mas’ud, merasa sangat trenyuh, karena ia melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti jenazah, sedang di sisinya duduk seorang perempuan tua, Ummu Dzar dan anaknya yang sedang menangis.

...Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Setia dan istiqamah mendampingi sang mujahid pilihan, hingga akhir hayatnya....

Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Setia dan istiqamah mendampingi sang mujahid pilihan, hingga akhir hayatnya. Walaupun harus bertempat tinggal di padang pasir liar, padahal usianya sudah sangat tua. Dan tanpa harta yang berharga, hingga, kain untuk mengkafani suaminya pun tidak dimilikinya.

Ibnu Mas’ud, membelokkan tali kekangnya ke arah perempuan tua tersebut. Diikuti anggota rombongan dibelakangnya. Saat pandangan matanya tertuju pada tubuh sang jenazah … tampak olehnya wajah sahabatnya … sahabat seaqidah, sahabat seperjuangan dalam membela tegaknya Islam. Dialah Abu Dzar . Maka, air mata pun mengucur deras dari kedua pelupuk matanya. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un. Ia pun berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah SAW. Anda berjalan sebatang kara. Mati sebatang kara. Dan dibangkitkan sebatang kara !”

Ibnu Mas’ud RA pun duduk, lalu bercerita kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya.
‘ Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan nanti seorang diri !”

Ucapan itu terjadi di waktu Perang Tabuk, tahun kesembilan Hijriah.

Perang Tabuk
Perang Tabuk, adalah perang melawan pasukan Romawi yang cukup menakutkan. Mereka berada di satu tempat dan siap menggempur umat Islam. Saat itu, musim panas teramat teriknya. Sehingga tidak banyak kaum muslimin yang menyambut seruan Rasulullah SAW.

Mereka yang ikut pun, akhirnya berguguran di tengah jalan, satu demi satu . Sebagian disebabkan azam yang tidak mantap. Abu Dzar sempat tertinggal oleh rombongan, karena keledai yang ditungganginya, berjalan sangat gontai. Disebabkan lapar yang sangat dan teriknya matahari yang membakar. Namun Abu Dzar tidak patah semangat.

Akhirnya, karena tidak ingin tertinggal dalam kesempatan jihad, saat itu, Abu Dzar bertekad melanjutkan perjalanannya, mengejar rombongan Rasulullah saw dengan berjalan kaki, sambil memikul beban bawaannya.

Subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar, ia berhasil . Alhamdulillah, bi-iznilah Abu Dzar dapat bertemu kembali dengan rombongan Rasulullah saw saat mereka beristirahat. Azam yang kuat, memberikan hasil akhir yang diharap.

Sungguh, menggapai surga adalah hal yang tidak mudah dan hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang terpilih …

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat” (Qs. Al-Baqarah 214).
Sebagai muslimah, banyak hal dapat kita lakukan dan persiapkan untuk berkhidmat di jalan-Nya. [ummu izzah/voa-islam.com]

Maroji: 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah SAW oleh Hepi Andi Bastoni.

Copyright http://www.voa-islam.com
Selengkapnya...

Catatan

Pengikut